Opini  

Antara Universitas Nibung Raya dan Universitas Pasar Pramuka

Antara Universitas Nibung Raya dan Universitas Pasar Pramuka
Foto Ilustrasi | Ist

Oleh : Budi Sudarman, SE

Ada sejarah kelam dan kisah suram tentang antara Universitas Nibung Raya dan Universitas Pasar Pramuka. Sebuah paradoks yang menyisakan kegetiran kisah anak manusia. Kisah yang menodai janji cinta yang suci demi harta, tahta dan wanita.

Ada juga sebuah lagu yang berjudul Antara Anyer dan Jakarta yang dinyanyikan oleh Sheila Madjid warga negeri jiran Malaysia, lagu buah karya Oddie Agam ini berkisah tentang indahnya sebuah pantai dan lewat keindahan alam pula, bersemi bunga-bunga cinta. Lagu yang dirilis pada tahun 1986 ini lalu menjadi hits dan seringkali dibawakan di berbagai acara.

Lalu apa hubungannya sebuah lagu dengan universitas yang tidak pernah terdaftar di Dirjen Dikti? Secara faktual tak ada korelasi namun ada titik temunya. Kisah pantai yang indah, debur ombak dan kebersamaan menciptakan vibrasi cinta.

Demikian juga tentang Universitas Nibung Raya sebuah ungkapan dan julukan warga masyarakat Kota Medan, di era 90-an. Nibung Raya adalah sebuah nama jalan yang berada di Kelurahan Petisah Tengah. Kec. Medan Petisah.

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Budi Agustono, Jalan Nibung Raya mempunyai sejarah kelam sebagai tempat prostitusi pada masa itu. Saat itu banyak sekali berdiri losmen, salon, biliar dan diskotek yang diduga menyediakan wanita penghibur. Apalagi di sekelilingnya berdiri pusat perbelanjaan.

Begitu banyak wanita-wanita muda yang cantik-cantik di sekitaran Jalan Nibung Raya, namun sekarang kondisinya tidak seperti itu lagi. Saat ini kawasan tersebut menjadi pusat jual-beli mobil baru/bekas, cash atau kredit.

Di masa itu untuk menyamarkan bila ingin ke Nibung Raya maka memakai kata sandi “yuk kita ke Kampus UNIRA”, tidak pun harus transaksi namun sekadar cuci mata merupakan sebuah pesona wisata.

Lain di Medan lain pula di Jakarta, kalau Jalan Nibung Raya punya sejarah kelam dengan kebersamaan cinta semalam yang tak menghasilkan wisudawan dan wisudawati, maka di Pasar Pramuka Jakarta Timur malah sebaliknya menghasilkan wisudawan.

Dimana saat ini menjadi perbincangan hangat tingkat nasional di setiap obrolan. Di media elektronik, ejekan di platform sosial media, kafe, lobi hotel, dan warung kopi pinggir jalan.

Tak ada gedung dan para mahasiswa perguruan tinggi di Pasar Pramuka, tak ada bukti yang sahih tentang sebuah rumor yang berkembang tentang terbitnya ijazah perguruan tinggi. Ijazah milik beberapa pejabat yang menggunakan ijazah palsunya untuk menyematkan gelar akademik sebagai tambahan nama. Semuanya suram, gelap dan kusam bak bayangan Drakula di dalam Kastil Polenari.

Seram seolah bakal kena Tulah dan Karma bila mengungkit cerita ijazah. Pantang diekspose bila tak ingin nasibnya berakhir di balik jeruji penjara.

Bagai seni peran dalam sebuah karya sinematik “Bram Stoker’s Dracula” menggabungkan kisah percintaan yang epik. Yang dalam perjalanan selanjutnya menjadi pertanyaan, apakah Drakula itu memang benar ada? Sama halnya pertanyaan apakah memang sosok itu pernah mengikuti pendidikan dan perkuliahan?

Ada sejarah kelam dan kisah suram tentang antara Universitas Nibung Raya dan Universitas Pasar Pramuka. Sebuah paradoks yang menyisakan kegetiran kisah anak manusia. Kisah yang menodai janji cinta yang suci demi harta, tahta dan wanita.

Kesucian dunia pendidikan yang ternoda oleh nafsu serakah ingin berkuasa dengan menghalalkan segala cara bila benar adanya kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tapi ternyata dicetak dan diluluskan di Pasar Pramuka Jakarta lewat desainer grafis Corel Draw dan Photoshop. Hal itu sungguh membagongkan jiwa. Dimanakah nurani itu wahai para guru bangsa? ***