Medan-Beritasatunews | Masyarakat Melayu Sumut yang terhimpun dalam aksi Solidaritas Untuk Rempang Galang, melakukan aksi damai di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Jalan Sisingamangaraja Medan, usai salat Jumat (15/9/2023).
Dalam aksinya ribuan masyarakat Melayu Sumut meminta kepada aparat agar menghentikan tindakan represif terhadap warga masyarakat di Rempang Galang Batam, yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya dari rencana relokasi terhadap 16 Kampung Tua Melayu, yang berada di Pulau Rempang Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
“Atas dasar investasi, negara mengorbankan kepentingan rakyatnya sendiri yang sudah tinggal menetap beratus tahun lamanya di Pulau Rempang Galang. Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, sudah bermukim suku Melayu di sana,” ujar salah seorang peserta aksi.
Menurut mereka, tindakan semena-mena negara terhadap rakyatnya sudah melanggar ketentuan hukum yang diatur dalam konstitusi negara. Seharusnya negara memberikan jaminan atas kehidupan masyarakat, dan melindungi kepentingan rakyat.
Solidaritas Rempang Galang tergabung dari beberapa elemen masyarakat yakni Darul Ukhuwah, DPP Satu Betor, Forum Anti Komunis Pembela Pancasila (FAK PP), Forum Islam Bersatu, Front Persaudaraan Islam, FPPI, Garda Senopati, GNDN, Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), KB PII Medan Utara, Kumpulan Pemuda Akhir Zaman (KUPAZ), Laskar Metar, Lembaga Adat Melayu Rajawali, LLMN, Molekul Pancasila, Masyarakat Pembela Tanah Wakaf (MPTW), Pengacara Jawara Bela Ummat (PEJABAT), RBM, Remaja Masjid Ubudiah, Rembuk Masyarakat Medan Utara, Satgas Senopati, SPAMI, dan Tuah Melayu Bilah Panai, dalam aksinya mengutuk dan mengecam keras apa yang terjadi terhadap warga Melayu di Pulau Rempang dan Galang Batam.
Datok Muhammad Setia Raja Muklus Metar Bilad Deli dalam orasinya menyesalkan apa yang terjadi di Pulau Rempang dan Galam Batam terhadap warga Melayu.
“Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan terhadap masyarakat Pulau Rempang dan Galang pada tanggal 7 September 2023 lalu adalah tindakan yang melanggar HAM, dan mengabaikan hak-hak adat terutama hak tanah adat Melayu,” teriaknya.
Ditambahkannya, agar pemerintah mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional warga Melayu.
“Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang,” ujarnya dalam orasi yang disambut riuh massa aksi.
Datok juga menyinggung tentang penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat Melayu.
“Pasal 3 UUPA menyebutkan dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi, Peraturan dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang cara penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat (Permen ATR/BPN Nomor 18/2019),” sambungnya.