Deliserdang-Beritasatunews.id | Sidang perkara dugaan penyerobotan tanah milik Herlina Sinuhaji dengan tergugat PT UG serta ATR/BPN Deliserdang kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Lubukpakam, Kamis (23/10).
Dalam persidangan yang berlangsung secara ecourt, Tergugat I (PT UG) melalui kuasa hukumnya Nurmahadi Darmawan dan Simson Sembiring menyampaikan duplik. Sementara Tergugat II (ATR/BPN Deliserdang) memilih tidak memberikan tanggapan.
Dalam duplik yang diunggah pada Kamis (23/10/2025), pihak PT UG menegaskan bahwa pemberian kuasa hukum kepada mereka sudah sah dan jelas, berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Nomor 256 tertanggal 19 Desember 2024.
“Argumen penggugat terkait legal standing kuasa hukum dari salah satu direksi PT UG sudah terbantahkan,” tegas kuasa hukum dalam duplik tersebut.
PT. UG juga menyatakan tidak memiliki hubungan hukum dengan penggugat.
“Penggugat membeli tanah dari Sukarman dan istrinya, Rismawati, sementara PT UG membeli dari Tergugat III, Siswati,” terang pihak PT UG.
Terkait penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1005 atas nama Siswati, PT UG menyebut hal tersebut wajar.
“Penerbitan SHM Siswati No. 1005 tidak ada yang luar biasa. Pengalihan sertifikat itu menjadi HGB atas nama PT UG juga sudah sesuai,” ujar kuasa hukum PT UG.
Namun, pernyataan itu dibantah kuasa hukum penggugat, Alimusa S.M. Siregar. Dia menilai PT UG terlalu memaksakan klaim kepemilikan tanah milik Herlina Sinuhaji dengan berbagai cara.
“Terkait legal standing, seharusnya ditunjukkan dengan jelas siapa pemberi kuasanya. Di PT UG ada beberapa direksi, bukan hanya satu. Maka kuasa hukum seharusnya mendapat kuasa khusus dari seluruh direksi, bukan hanya dari satu orang,” ujarnya, Sabtu (25/10/2025), di Medan.
Alimusa juga menolak dalih bahwa PT UG tidak memiliki hubungan hukum dengan penggugat.
“PT UG dalam perkara ini memperoleh atau menguasai objek sengketa dari pihak yang sebelumnya sudah berperkara, sehingga secara hukum kedudukannya merupakan turunan (rechtsopvolging onder algemene titel). Dengan demikian, PT UG tetap terikat pada akibat hukum dari putusan perkara sebelumnya,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menyebut proses penerbitan sertifikat Siswati sangat janggal.
“Pengukuran dilakukan tanggal 2 Maret 2007, lalu hanya tiga hari kemudian pada 5 Maret 2007, sertifikat sudah terbit. Itu jelas di luar nalar. Sesuai ketentuan, proses penerbitan sertifikat seharusnya memakan waktu sekitar 98 hari kerja,” tegasnya.
Dia menambahkan, SHM No. 1005/Desa Patumbak Kampung yang terbit pada 6 Maret 2007 juga tidak pernah diumumkan di kantor desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997 dan Permen Agraria/BPN No. 3 Tahun 1997.
Selain itu, Alimusa menyoroti kejanggalan dalam pengalihan sertifikat tersebut menjadi HGB No. 39 atas nama PT UG.
“Berdasarkan data di Kantor Pertanahan Deli Serdang, tanah itu sebenarnya sudah diblokir berdasarkan surat polisi Nomor 295/V/2007/Dit Reskrim tanggal 7 Mei 2007 karena sedang dalam proses hukum. Namun BPN Deliserdang tetap menerbitkan HGB untuk PT UG. Ini jelas melanggar Pasal 45 ayat (1) huruf c Permen Agraria/BPN No. 3 Tahun 1997,” ungkapnya.
Menurut Alimusa, tindakan tersebut membuat penerbitan, penurunan, dan peralihan hak atas tanah itu tidak sah dan cacat hukum.
Sementara itu, dalam sidang dugaan penyerobotan tanah tersebut, diamnya Tergugat II (ATR/BPN Deliserdang) dinilai Alimusa sebagai bentuk pengakuan atas dalil-dalil penggugat.
“Mereka diam tanpa pernyataan. Artinya, mereka menyetujui apa yang kami sampaikan,” pungkasnya. * B1N-Red







